"Sedaya Upaya Menjadi Yang Berguna"

Umar bin Abdul-Aziz

Umar II
Memerintah 717 – 720
Dinobatkan 717
Dilantik 717
Nama lengkap Umar bin Abdul-Aziz
Lahir 682

Madinah[1]
Meninggal Februari 720[1]

Dekat Aleppo, Syiria[1]
Pendahulu Sulaiman bin Abdul-Malik
Pengganti Yazid bin Abdul-Malik
Pasangan Fatimah binti Abdul-Malik
Anak Abdul-Malik bin Umar
Wangsa Banu Abd Shams
Dinasti Umayyah
Ayah Abdul-Aziz bin Marwan
Ibu Ummu Asim Laila binti Asim
Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1] adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Biografi

[sunting] Keluarga

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab, dimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.

[sunting] Silsilah

Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak.

[sunting] Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

[sunting] Kehidupan awal

[sunting] 682 – 715

Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I

[sunting] 715 – 715: era Al-Walid I

Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana"[2]

[sunting] 715 – 717: era Sulaiman

Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
[sunting] Kedekatan Umar dengan Sulaiman
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.
Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah.
Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih.
Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya".
Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan kita ini?"
Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia".
Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.

[sunting] Menjadi khalifah

Umar menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Ia di bai'at sebagai khalifah pada hari Jumat setelah salat Jumat. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung merasakan perubahan kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis ibu.
Zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat 4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan 4 khalifah pertama itu. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[3] atau 60 dirham perbulan. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5. Khalifah Umar ini hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun) oleh pembantunya.

[sunting] Sebelum menjabat

Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz".
Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.

[sunting] Naiknya Umar sebagai Amirul Mukminin

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".
"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu.
Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat".
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”

[sunting] Pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz

Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas alQuran, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.
Umar Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.

[sunting] Surat dari Raja Sriwijaya

Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi:[4]
Dari Rajadiraja...; yang adalah keturunan seribu raja ... kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

[sunting] Hari-hari terakhir Umar bin Abdul-Aziz

Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".
Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”
Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"
"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
"Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"
Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.

[sunting] Referensi

  1. ^ a b c d (Inggris) Umar II (Umayyad caliph). Britannica Online Encyclopedia.
  2. ^ Abdurrahman, Jamal (6 Februari 2007) (dalam bahasa Indonesia). Keagungan Generasi Salaf (disertai kisah-kisahnya). Darus Sunnah.
  3. ^ (Arab) Jalaluddin Suyuthi (w. 911 H). Tarikh al-Khulafa (Sejarah Para Khalifah).
  4. ^ Azra, Azyumardi (6 Februari 2004) (dalam bahasa Indonesia). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Prenada Media. hlm. 27-28.
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Sulaiman
Khalifah Bani Umayyah
(717720)
Digantikan oleh:
Yazid II

Peristiwa Menakjubkan dalam Hidup Umar bin Abdul Aziz


Lembaran hidup khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khalifah rasyidin yang kelima ini lebih harum dari aroma misk dan lebih asri dari taman bunga yang indah. Kisah hidup mengagumkan laksana taman  yang harum semerbak, di mana pun Anda singgah di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang sejuk di hati, bunga-bunga yang elok dipandang mata dan buah-buahan yang lezat rasanya. Meski kami tak sanggung memaparkan seluruh perjalanan hidup beliau yang tercatat dalam sejarah, namun tidak menghalangi kami untuk memetik setangkai bunga di dalam tamannya, atau mengambil sebagian cahayanya sebagai lentera. Karena “mala yudraku kulluhu laa yutraku ba’dhuhu”, apa yang tidak bisa diambil seluruhnya janganlah ditinggalkan sebagian yang dapat diambil.
Saya mengajak Anda untuk berbagi cerita tentang Umar bin Abdul Aziz dalam tiga peristiwa. Adapun peristiwa yang lain akan saya lanjutkan pada kitab selanjutnya jika Allah memberi kemudahan, insyaAllah.
Kisah pertama yang mengesankan diriwayatkan oleh Salamah bin Dinar, seorang alim di Madinah, qadhi dan syaikh penduduk Madinah. Beliau menuturkan kisahnya, suatu ketika aku menemui khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz tatkala beliau berada di Khunashirah, tempat pemerahan susu. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan beliau. Saya mendapatkan beliau berada di depan pintu. Pertama kali memandang, saya sudah tidak mengenali beliau lagi lantaran banyaknya perubahan fisik pada diri beliau dibandingkan dengan tatkala betemu dengan saya di Madinah. Saat di mana beliau menjadi gubernur di sana. Beliau menyambut kedatanganku dan berkata:
Umar, “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim!”
Aku, (Akupun mendekat), “Bukankah Anda amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz?”
Umar, “Benar!”
Aku, “Apa yang menyebabkan Anda berubah? Bukankah wajah dahulu tampan? Kulit Anda halus? Hidup serba kecukupan?”
Umar, “Begitulah, aku memang telah berubah!”
Aku, “Lantas apa yang  menyebabkan Anda berubah padahal Anda telah menguasai emas dan perak dan Anda telah diangkat menjadi amirul mukminin?”
Umar, “Memangnya apa yang berubah pada diriku wahai Abu Hazim?”
Aku, “Tubuh begitu kurus dankering, kulit Anda yang menjadi kasar dan wajahmu yang menjadi pucat, bening kedua matamu yang telah redup.”
Tiba-tiba saja beliau menangis dan berkata:
Umar, “Bagaimana halnya jika engkau melihatku setelah tiga hari aku di dalam kubur, mungkin kedua mataku telah melorot di pipiku…perutku telah terburai isinya…ulat-ulat tanah menggrogoti sekujur badanku dengan lahapnya. Sungguh jika engkau  melihatku ketika itu wahai Abu Hazim, tentulah lebih tak mengenaliku lagi dari hari ini. Ingatkah Anda tentang suatu hadits yang pernah Anda bacakan kepadaku sewaktu di Madinah wahai Abu Hazim?”
Aku, “Saya telah menyampaikan banyak hadits wahai amirul mukminin, lantas hadits manakah  yang Anda maksud?”
Umar, “Yakni hadits yang diriwayatka oleh Abu Hurairah.”
Aku, “Benar, aku masih mengingatnya wahai amirul mukminin.”
Umar, “Ulangilah hadits itu untukku, karena saya ingin mendengarnya dari Anda!”
Aku, “Saya telah mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya di hadapan kalian terhampar rintangan yang terjal, sangat berbahaya, tidak ada yang mampu melewatinya dengan selamat melainkan orang  yang kuat’.”
Lalu menangislah Umar dengan tangisan yang mengarukan, saya khawatir jika tangisan itu memecahkan hatinya. Kemudian beliau mengusap air matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah Anda sudi menegurkan wahai Abu Hazim bila aku berleha-leha mendaki rintangan yang terjal tersebut sehingga aku berhasil menempuhnya? Karena aku khawatir jika tidak mampu menempuhnya.”
Kisah kedua dalam kehidupan Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi As-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya, “Buatlah pondok-pondok di negerimu untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang diantara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolong baginya dan tidak ada kendaraan  yang bisa ditunggangi, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa pulang ke tempat asalnya.”
Gubernur Sulaiman segera melaknsanakan titah amirul mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu berita tersebut tersebar di segala penjuru. Orang-orang di belahan bumi Islam di Barat dan di Timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan dan ketakwaan khalifah.
Hingga sampai pula kabar itu kepada penduduk Samarkand. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka mendatangi gubernur Sulaiman bin As-Sari dan berkata, “Sesungguhnya pendahulu Anda yang bernama Qutaibah bin Muslim Al-Bahili telah merampas negeri kami tanpa mendakwahi kami terlebih dahulu. Dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan –wahai kaum muslimin-  yakni menawarkan pilihan sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak, kalian menyuruh mereka untuk membayar jizyah, jika mereka menolaknya baru kalian memberikan ultimatum perang.
Sekarang, kami melihat keadilan khalifah Anda dan ketakwaannya. Sehingga kami berhasrat untuk mengadukan perlakuan pasukan kalian kepada kami. Dan kami meminta tolong kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka ijinkanlah wahai amir agar salah satu di antara kami melaporkan hal itu kepada khalifah Anda untuk mengadukan kezhalimah yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”
Gubernur Sulaiman mengijinkan salah satu di antara mereka menjadi duta untuk menemui khalifah di Damaskus. Ketika utusan tersebut sampai di rumah khalifah dan mengadukan persoalan mereka kepada khalifah muslimin Umar bin Abdul Aziz, maka khalifah menulis surat untuk gubernur Sulaiman bin As-Sari yang antara lain berisi:
“Amma ba’du..Jika surat saya ini tela sampai kepada Anda, maka tunjuklah seorang qadhi untuk penduduk Samarkand yang akan mempelajari aduan mereka. Jika qadhi itu telah memutuskan bahwa kebenaran di pihak mereka, maka perintahkanlah kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota mereka. Ajaklah kaum muslimin yang telah tinggal bersama mereka untuk segera kembali ke negeri mereka. Lalu pulihkanlah situasi seperti semula sebagaimana tatkala kita belum memasukinya. Yakni sebelum Qutaibah bin Muslim Al-Bahili masuk ke negeri mereka.”
Sampailah utusan itu kepada Sulaiman lalu dia serahkan surat sarat dari amirul mukminin kepada beliau. Gubernur segera menunjuk seorang qadhi yang terkemuka yang bernama Jumai’ bin Hadhir An-Naaji. Beliau segera mempelajari aduan mereka, beliau meminta agar mereka menceritakan hal ihwal mereka. Juga mendengar kesaksian dari beberapa saksi dari pasukan muslim dan pemuka penduduk Samarkand, maka sang qadhi membenarkan tuduhan penduduk Samarkand dan pengadilan memenangkan pihak mereka.
Sejurus kemudian, gubernur memerintahkan kepada seluruh pasukan kaum muslimin untuk meninggalkan kota Samarkand dan kembali ke markas-markas mereka. Namun tetap bersiap siaga berjihad pada kesempatan yang lain. Mungkin akan kembali memasuki  negeri mereka dengan damai, atau akan mengalahkan mereka dengan peperangan, atau bisa jadi pula bukan takdirnya untuk menaklukkan mereka.
Tatkala para pembesar mendengar keputusan sang qadhi yang memenangkan urusan mereka, masing-masing saling berbisik satu sama lain, “Celaka kalian, kalian telah hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan tinggal bersama mereka, sedangkan kalian  mengetahui kepribadian, keadilan dan kejujuran mereka sebagaimana yang kalian lihat, mintalah agar mereka tetap tinggal bersama kita, bergaullah kepada mereka dengan baik, dan berbahagialah kalian tinggal bersama mereka.”
Tinggallah peristiwa yang ketiga yang dialami oleh Umar bin Abdul Aziz. Kisah ini dikisahkan oleh Ibnu Abdil Hakam kepada kita di dalam kitabnya yang berharga “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz). Beliau berkata:
“Menjelas wafatnya Umar, masuklah Maslamah bin Abdul Malik dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda.’ Ketika dia telah selesai berbicara, Umar berkata, “Tolong dudukkanlah saya!” maka mereka pun mendudukkan beliau, lalu beliau berkata, “Sungguh aku  mendengar apa yang Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu  bahwa saya menghalangi anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi sesuatu yang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan harta yang memang bukan  hak mereka. Adapun yang kau katakan, “alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda (untuk menanggung) anak-anak Anda”, maka sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang shaleh. Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu diantara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang shalih dan bertakwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang yang membantu mereka dengan  harta untuk bermaksiat kepada Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan anak. Begitu melihat mereka meneteslah air mata beliau seraya berkata, “Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya percaya bila kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian…” Lalu Maslamah menoleh kepada beliau dan berkata:
Maslamah, “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!”
Umar, “Apakah itu wahai Maslamah?”
Maslamah, “Saya memiliki 300.000 dinar…saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah untuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki.”
Umar, “Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?”
Maslamah, “Apakah itu wahai amirul mukminin?”
Umar, “Engkau kembalikan dari siapa barang itu diambil, karena kamu tidak memiliki atas barang tersebut.”
Maka meneteslan air mata Maslamah seraya berkata,
Maslamah, “Semoga Allah merahmati Anda wahai amirul mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Sejak peristiwa itu, orang-orang mengikuti berita tentang anak-anak Umar sepeninggal beliau. Maka mereka melihat tak seorang pun di antara mereka yang hidup miskin dan meminta-minta. Sungguh benar firman Allah Ta’ala:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan  perkataan yang benar.” (An-Nisaa’: 9)
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 219-228.

Total Tayangan Halaman